tera' ta' a-dhemar
UNIBA-MADURA SUMENEP
Belajar Menggali
Kekuatan
Jiwa
----------
•Kasih Ibu
•Sepanjang
•Masa; Ia Hanya
•Memberi Dan
•Tak Harap
•Kembali; Seperti
•Matahari Yang
•Selalu
•Menyinari
•Bumi
•Anak
•Tidak
•Pernah Tahu
•Pengorbanan
•Seorang Ibu,
•Karena Ibu Tidak
•Ingin Menyakiti
•Perasaan
•Anak
DEWI...
Begitu ia biasa dipanggil... Dewi merasa ibunya selalu membuatnya merasa malu. Saat orangtua siswa diharuskan mengambil raport, ibunya datang ke sekolah. Dewi merasa pandang mata teman-temannya tertuju ke mata kiri ibunya.
(Mata kiri ibunya tak berbiji lagi, menyisakan rongga kosong kehitaman yang menakutkan)
Meski sikap Dewi menunjukkan perasaan tidak senang, ibunya tetap tersenyum kepadanya. Nilai raport Dewi paling tinggi di kelasnya. Wali kelas memuji Dewi sebelum membagikan raport. "Ibu bangga kepadamu, Nak!" kata ibunya sambil hendak memeluk Dewi. Dewi mengelak untuk menunjukkan perasaan tidak senangnya.
Di rumah, Dewi marah-marah. Melihat buah hatinya marah-marah, si ibu memilih pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Ya, kasih ibu sepanjang masa...
Setelah dewasa...
Dewi menikah, lalu punya dua orang anak perempuan yang cantik-cantik. Ibunya kerap datang menengok keluarga Dewi. Setiap ibu Dewi datang menengok, anak-anak Dewi selalu ketakutan melihat mata kiri neneknya. "Sebaiknya ibu tak perlu datang lagi agar anak-anak tidak ketakutan," ucap Dewi kepada ibunya.
"Bagaimana aku tidak akan datang, Nak! Aku mencintai kalian semua," ucap ibunya sambil menahan sesaknya dada.
"Pokoknya ibu sebaiknya tidak datang ke sini lagi," ucap Dewi dengan suara agak meninggi.
(Ibunya tampak bersedih sambil menahan airmata-nya agar tidak jatuh ke tanah. Tidak lama kemudian, sang ibu pulang ke rumahnya di desa)
Setelah sekian waktu...
Suami Dewi berhasil menjadi kepala daerah (Bupati). Suatu hari melakukan peninjauan proyek di desa tempat tinggal ibu Dewi. Seperti yang dikhawatirkan Dewi, ibunya datang saat suaminya melakukan peresmian proyek. Wartawan yang tertarik, berkali-kali memotret ibu Dewi, lalu menanyakan mengapa mertua kepada daerah tampak sangat sederhana --jika tidak mau dikatakan miskin. Dewi merasa malu. Ia juga merasa bersalah kepada suaminya. Dewi khawatir karier dan prestasi suaminya tercoreng.
Dewi memerintahkan pegawai bawahan suaminya untuk mengusir ibunya pergi. Perempuan itu tampak sangat sedih. Alisnya berkerut. Mata kanannya berkaca-kaca. Dan... Sejak saat itu, Dewi tak pernah lagi melihat ibunya.
Setahun kemudian...
Dewi menyadari ibunya tak pernah lagi mendatanginya. Perasaannya berubah. Tiba-tiba ia ingin tahu, lalu pergi ke rumahnya di waktu kecil dulu. Begitu sampai di depan rumahnya, tampak rumah itu sunyi dan sepi. Dindingnya yang terbuat dari papan, sudah miring. Pintu rumah berkarat hingga sulit dibuka. Dewi keheranan. Kemana orangtua cacat matanya itu, gerutunya dalam hati.
Tak lama kemudian...
Seorang tetangga datang menemui Dewi. Ia mengabarkan bahwa ibu Dewi telah meninggal dunia tiga bulan lalu. Sang tetangga itu menyodorkan sepucuk surat kepada Dewi. "Surat ini dititipkan ibu Dewi sebelum menghembuskan nafas terakhir," ucap sang tetangga seraya meletakkan surat itu ke tangan Dewi.
Seketika tubuh Dewi bergetar hebat. Tangannya menggigil kencang. Ia tak kuasa menahan airmata-nya dan runtuh di atas lantai tanah. Tapi segalanya sudah terlambat, dan tak bisa diulang. Ia tak dapat lagi bersimpuh sambil merangkul kaki ibunya seraya memohon maaf. Setelah surat itu dibuka...
IBUNYA MENULIS...
Wahai Anakku...
Sungguh tak pernah terbesit dalam hatiku untuk membuat teman-temanmu ketakutan. Aku pun tak bermaksud menjadikan cucu-cucuku sendiri ngeri melihat mataku. Saat suamimu meresmikan proyek, aku datang hanya ingin menunjukkan betapa bangganya aku, Nak.
Wahai Anakku...
Ibumu memang tak seperti ibu-ibu lainnya. Mata ibumu cuma satu. Sebab dulu, ketika kau berumur lima tahun, kau mengalami sakit yang menyebabkan kerusakan pada MATA KIRIMU. Aku memberikan MATA KIRIKU kepadamu, agar kau dapat menyaksikan indahnya dunia. Aku senang, kau tumbuh seperti anak-anak lainnya. Kau cantik dan cerdas. Ibumu bangga kepadamu.
Wahai Anakku...
Setelah umurku habis, tanah dan rumah tempat kau kulahirkan dan kubesarkan ini, kuwariskan kepadamu. Aku tahu tidak banyak. Padahal dulu lumayan luas. Dulu aku terpaksa menjual sebagian besar tanah warisan ayahmu, untuk membiayai operasi matamu, Nak.
Wahai Anakku...
Ayahmu sebelum meninggal, berpesan kepada ibu, bahwa;
"Pusaka kebajikan paling indah adalah merahasiakan musibah dan keluh kesah."
Maka aku pesankan kepadamu, wahai Anakku;
"Jalanilah kehidupan di dunia ini tanpa membiarkan dunia hidup di dalam dirimu, karena ketika perahu berada di atas air, ia mampu berlayar dengan sempurna, tetapi ketika air masuk ke dalamnya, perahu itu akan tenggelam."
Wahai Anakku...
Didiklah anak-anakmu sesuai dengan tuntunan agama. Karena, dia diciptakan bukan untuk zaman-mu, tetapi zaman yang membutuhkan percaya diri yang tinggi dan iman yang kokoh.
----------
(Ibumu yang selalu menyayangimu tanpa batas waktu)
----------
Kutipan Bijak;
"Jadilah seperti bunga, yang selalu menebarkan keharuman, meskipun kepada tangan yang meremukkannya."
(Ali bin Abi Thalib)
Salam,
Oleh : JO