By Dedy Ahmadi on 11 Sep 2025

Mimbar Kampus - UNIBA MADURA Belajar Menggali Kekuatan Jiwa

Mimbar Kampus - UNIBA MADURA Belajar Menggali Kekuatan Jiwa

Mimbar Kampus

UNIBA-MADURA SUMENEP

Belajar Menggali

Kekuatan

Jiwa

----------


Catatan

Sederhana

Buat Ananda;

Izinkan Bapak

Mencoba

Lagi Untuk

Menjadi

Orangtua

Yang Lebih

Baik


Wahai Anakku...

Ketika Bapak ingat Ibumu melahirkanmu dengan rasa sayang yang amat besar kepadanmu, tetapi sempat khawatir ketika engkau tidak bisa menangis. Bapak memelukmu, dan Ibumu menatap dengan pandangan yang teduh.

Ada airmata yang meleleh di pelupuk Bapak karena rasa haru, bahagia dan sekaligus merasa khawatir tak bisa memenuhi tanggung jawab yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya.

Ketika malam itu engkau menangis untuk yang pertama kali, setelah beberapa jam Bapak dan Ibumu menanti, rasanya tak bisa ku ungkapkan kepadamu, Nak. Bahagia sekali. Bapak lihat raut wajah Ibumu berubah ceria karena saking bahagianya.

Engkau tahu, Nak! Puncak kesedihan adalah tangis, dan puncak kebahagiaan juga tangis.

Begitu bahagia perasaan Ibumu, sampai-sampai seakan tak pernah ada rasa sakit yang ia rasakan. Padahal baru delapan jam yang lalu ia melahirkan, Nak! Ketika malam itu engkau menangis keras-keras sekuat tenaga, Ibumu dengan bersemangat belajar menyusuimu. Padahal malam telah benar-benar amat larut, dan manusia sedang lelap-lelapnya tertidur.


Engkau tahu, Nak! Semua keletihan itu tak terasa karena engkau sangat berarti. Semua kepenatan itu tak terhiraukan karena ada rasa bahagia yang amat dalam, sembari diam-diam Bapak berdo'a agar kelahiranmu menjadi kebaikan bagi agama ini. Bagi umat ini.

Wahai Anakku...

Sudah cukup bagimu untuk merasakan bagaimana Bapak mendidikmu. Mungkin banyak luka yang membekas di hatimu, karena Bapakmu ini tak selalu mampu mendidikmu dengan kelembutan. Mungkin banyak coretan-coretan buram, karena Bapakmu ini ternyata tak bisa mengusapmu selembut Rasulullah Saw menyayangi putrinya, Fathimatuz Zahra. Bukan karena Bapak tak cinta kepadamu. Bukan Nak! Tetapi karena jiwa Bapakmu yang masih lemah.

Wahai Anakku...

Ingin Bapak menyayangimu sebagaimana Rasulullah menyayangi putri-putrinya. Tetapi hati yang masih keruh, tujuan hidup yang belum bersih, membuat ajakanmu untuk bercanda kadang justru Bapak sikapi dengan kalut. Teriakan kerasmu di masa kecilmu yang engkau pekikkan dengan penuh semangat, kadang masih saja Bapak hadapi dengan gusar. Padahal itu menunjukkan jiwamu benar-benar hidup.

Sikap yang tidak pada tempatnya itu, bukan karena Bapak tidak menyayangimu, Nak! Bukan. Rasa sayang itu sangat besar. Kalau engkau sakit, Bapak merasa kehilangan sekali. Tetapi kegusaran itu ada, semata karena hati Bapakmu yang belum jernih. Ada sedikit pekerjaan yang harus Bapak selesaikan, di saat engkau membutuhkan Bapak untuk bermain bersama.

Seperti kata penyair Charles Bukowski;


”Bukan masalah besar yang mengirim kita ke rumah gila, bukan hilangnya kekasih, melainkan hanya putusnya tali sepatu di saat kita mesti bergegas."


Bukan hilangnya rasa cinta yang membuat Bapak kadang marah kepadamu, tetapi karena terburu oleh perkara kecil.


Seperti sebutir debu yang masuk ke mata, perkara yang kecil itu kadang membuat Bapak tidak bisa melihat dengan jernih.


Wahai Anakku...

Teringatlah Bapak pada Ummu Fadhl. Suatu saat ia menggendong putranya dan membawa ke hadapan Nabi Saw. Anak yang masih bayi ini kemudian di gendong Nabi Saw, lalu pipis di dada Beliau. Ummu Fadhl segera merenggutnya dengan kasar. Ia gusar karena anaknya pipis di dada Nabi Saw. Tetapi Nabi justru menegurnya;


"Pakaian yang kotor ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat membersihkan kekeruhan (jiwa) anak ini akibat renggutanmu yang kasar?"


Itu sebabnya, Nak! Bapak kadang menangis sendirian di saat engkau telah tertidur. Bapak ingin senantiasa menatapmu dengan teduh, menyambutmu dengan canda, mendekapmu dengan hangat, dan membisikkan kepadamu kalimat yang bisa engkau pegangi untuk hidup di hari kemudian. Seperti saat engkau masih bayi, Bapak ingin membisikkan di telingamu bahwa, tidak ada yang layak engkau sembah kecuali Allah. Dan bahwa hidupmu harus memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah...


Wahai Anakku...

Betapa inginnya Bapak mendidikmu sebaik Luqman Al-Hakim mendidik putranya, tetapi tetap saja selalu ada yang kurang. Ingin bersikap tegas kepadamu agar engkau teguh dalam berperinsip, tetapi yang muncul kadang justru sikap keras. Ingin bersikap lembut kepadamu agar engkau bisa menjadi penolong agama Allah, tetapi yang muncul kadang justru sikap lemah.


Wahai Anakku...

Sudah cukup banyak yang engkau saksikan dari Bapak-Ibumu. Kelak engkau bisa belajar, mana yang baik dan mana yang buruk dari perilaku Bapak-Ibumu. Yang baik, ambillah. Do'akan semoga Allah jadikan sebagai amalan yang disukai-Nya, sehingga (Ia) berkenan memanggil kita ke surga-Nya, sebagaimana seruan-Nya; "Wahai JIWA yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya..." Dan atas keburukan yang engkau dapati, ingatkanlah Bapak-Ibumu ini dengan perkataan qaulan karima. Maafkanlah kesalahan-kesalahan itu, ikhlaskanlah kekurangan-kekurangan itu, dan mohonkanlah kepada Allah agar memberi ampunan yang sempurna.


Wahai Anakku...

Selebihnya, belajarlah menghormati Ibumu. Cintailah ia dengan penghormatan yang tinggi dan perhatian yang tulus. Sesungguhnya, surga-mu ada di telapak kakinya. Ketahuilah Nak, tentang penat yang ia rasakan karena harus menyayangimu tanpa batas waktu. Kalau hari ini engkau bisa berlari-lari gembira, itu karena ibumu mengikhlaskan keletihannya untuk mencurahkan kasih sayang kepadamu saat tulang-tulangmu belum kuat. Kekuatan Ibumulah yang engkau hisap saat kakimu belum mampu berdiri tegak, sehingga sekarang teriakanmu bisa lantang.


Sungguh, Nak!

Besarnya kasih sayang seorang Ibu tak akan mungkin sanggup digantikan oleh seorang Bapak yang sangat mencintai anak-anaknya. Seperti kata orang bijak;


"Satu malam yang dijalankan oleh seorang ibu dalam mengurusi anaknya, bernilai lebih besar daripada bertahun-tahun kehidupan seorang ayah yang setia. Kelembutan dan kasih sayang yang terkandung dalam mata berbinar seorang Ibu, adalah kilatan kasih dan sayang Tuhan Sekalian Alam."


Seperti puisi IBU goresan tangan lembut Kiai D Zawawi Imron;


"...Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan - Namamu, Ibu, yang kan ku sebut paling dahulu - Lantaran aku tahu - Engkau Ibu dan aku anakmu..."


Wahai Anakku...

Begitu banyak yang terjadi dalam waktu yang amat panjang itu, tetapi amat sedikit yang Bapak ingat. Seakan hidup ini tak kita pertanggung jawabkan. Rasanya baru kemarin engkau lahir. Bapak tak tahu harus tertawa atau menangis. Semoga Allah jadikan engkau sebagai kebaikan bagi agama ini. Aamiin...

----------


Kata Imam Ghazali;

”Ibarat mobil, jiwa itu adalah sopirnya."


Salam,

Oleh : JO

Scroll